Hyundai Motorstudio Senayan Park
Maraknya parade fesyen dadakan saat ini jelas memunculkan fenomena baru, fast fashion. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Tapi bagaimana fenomena ini berkembang dan apa dampaknya?
Terlepas dari hingar bingar dan popularitas fast fashion yang kini tampak mengglobal, ada dampak negatif yang muncul. Dampak paling umum yaitu eksploitasi pekerja, membahayakan binatang, dan yang paling parah, merusak lingkungan.
Bersama Milan, Paris menjadi semacam kiblat mode dunia. Itu sebabnya, Milan Fashion Week dan Paris Fashion Week merupakan dua ajang fesyen terbatas yang paling ditunggu tiap tahun.
Tak semua rumah mode boleh ikut andil dalam peragaan busana, pun pengunjung juga dibatasi. Animo yang tak tertampung membuat beberapa rumah mode menggelar peragaan busana di luar tempat resmi seperti di jalanan, trotoar, bahkan lampu merah.
Lewat bantuan media sosial, fast fashion seperti membuka mata dunia bahwa peragaan busana tak selalu identik dengan panggung catwalk yang megah nan glamor.
Bermodalkan jalan aspal, atraksi yang sama juga bisa diselenggarakan tanpa harus keluar banyak modal. Budaya pop ini kemudian mengglobal, dan hampir seluruh belahan dunia kini melakukannya.
Secara umum, fast fashion bisa didefinisikan sebagai peragaan busana kelas bawah dengan budget seadanya dengan mengambil ide dari catwalk atau busana yang tren dipakai selebriti dan model.
Tujuan utamanya yaitu menghadirkan busana model terbaru secepat mungkin dengan harga terjangkau sehingga penikmat fesyen dapat memakainya saat sedang tren, tapi langsung membuangnya setelah beberapa kali pemakaian.
Alasan utama penggemar fast fashion yaitu bahwa keterlambatan memakai busana yang tren merupakan bentuk kecerobohan mode, dan jika ingin tetap relevan dengan dunia mode saat ini, mereka harus tampil dengan busana yang sedang banyak didiskusikan sekarang.
Situasi ini memicu sistem yang toksik sehingga memicu produksi berlebihan, yang pada akhirnya membuat fesyen sebagai salah satu polutan terbesar di dunia.
Dalam kaitannya dengan lingkungan, dampak fast fashion ternyata sangat buruk. Tren busana yang berganti cepat mengharuskan produksi cepat yang, sayangnya, memicu kerusakan lingkungan. Lalu, seperti apa dampaknya?
Tekanan untuk menurunkan harga dan mempercepat waktu produksi berarti ada sejumlah prinsip pelestarian lingkungan yang dilanggar. Salah satu praktiknya yaitu dengan memakai pewarna tekstil murah, yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan.
Polyester termasuk salah satu jenis kain yang umum digunakan. Diambil dari alam, polyester berkontribusi pada pemanasan global karena memakai mikrofiber yang dapat meningkatkan kandungan mikroplastik pada air saat baju dicuci.
Bahkan busana terbuat dari kain biasa juga memunculkan masalah saat diproduksi untuk skala fast fashion. Ini karena kain konvensional memerlukan banyak air dan pembersih.
Risiko kekeringan akan muncul dan sumber mata air menjadi bermasalah yang kemudian memicu konflik perusahaan dan komunitas lokal. Satu contoh nyata yaitu limbah cair perusahaan garmen.
Permintaan tinggi dengan kecepatan konstan juga memicu persoalan lingkungan lain seperti pembukaan lahan baru, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi tanah.
Hewan juga terkena dampak buruk dari fast fashion, baik langsung dan tak langsung. Pewarna yang mengandung toksin dan mikrofiber akan mencemari tanah dan sumber mata air. Karena hewan menggantungkan hidupnya langsung dari alam, kehidupannya jelas lebih terancam.
Efek langsung dari fast fashion yang membahayakan hewan yaitu terkait pemanfaatan anggota tubuhnya. Kulit, bulu, dan wol merupakan bagian tubuh yang dimanfaatkan langsung untuk fesyen, baik sebagai aksesoris atau sebagai material utama.
Di balik gemerlapnya dunia fesyen saat ini, ada banyak skandal terkait penggunaan kulit dan bulu asli yang diambil dari berbagai jenis hewan, umumnya kucing dan anjing.
Industri fesyen juga berkontribusi meningkatkan lebih dari 10% emisi karbon untuk skala global. Angka tersebut ada di bawah industri oli di peringkat pertama.
Ini tentu bukan kabar baik dari industri mengedepankan tampilan ‘baik’. Dengan porsi yang demikian besar, diperkirakan emisi dari industri fesyen akan mencapai lebih dari 50% pada 2030.
Emisi karbon muncul tak hanya dari proses produksi tekstil dan garmen semata, tapi juga saat produk fesyen dipindah dari satu tempat catwalk, dan saat produk fesyen dibuang karena tren sudah usang.
Ambil contoh celana jins. Jumlah air yang diperlukan untuk memproduksi jeans sampai dipajang di distro akan menghasilkan emisi karbon 33,4 kg. Bisa dibayangkan berapa jumlah emisi jika jeans diproduksi cepat untuk keperluan fast fashion.
Saat ini, diperkirakan 1,2 miliar ton emisi karbon muncul sebagai akibat dari budaya pop fast fashion. Dengan kata lain, fast fashion memicu emisi karbon yang belum pernah ada sebelumnya.
Nyatanya, 92 juta ton limbah tekstil tercipta tiap tahun, dan jumlahnya diprediksi meningkat menjadi 134 juta ton pada 2030. Seharusnya, 95% limbah tekstil bisa digunakan dan dimanfaatkan kembali, tapi budaya fast fashion mencegah siklus ini berlangsung.
Tren yang berganti cepat membuat konsumen percaya bahwa model baju yang lagi tren hanya untuk ‘sekali pakai’. Logika sederhananya, saat beralih ke tren busana terbaru, baju model lama biasanya sudah tak relevan lagi dan ditinggalkan, bahkan dibuang.
Untuk 2018 saja, 17 juta ton limbah tekstil berakhir di tempat pembuangan, yang mana perlu waktu 200 tahun agar terurai.
Tapi seperti namanya, fast fashion merupakan jenis tren fesyen yang cepat berganti, atau instan. Dan sudah seharusnya kita tak boleh memakai produk instan karena pada dasarnya apa yang serba instan tak akan berakhir baik.